Jumat, 25 Juli 2008

untuk mengantarkan insan dengan segala potensi diri dalam berinteraksi

Banyak yang bahagia dengan tahun ajaran baru. Orang tua tentunya. Dia bahagia karena anaknya dapat lulus dan melanjutkan sekolahnya di sekolah lanjutan. Bagi seorang siswa baru, kebahagiaan itu antara lain punya teman baru, guru baru dan sekolah baru. Bahagia karena lulus ujian yang merupakan ”penghalang” sebagian siswa untuk menapaki sisi hidupnya lebih jauh. Sekolah pun ikut bahagia bisa menerima murid baru dengan aneka macam watak dan karakter. Pokoke tahun baru menjadi ruang bahagia bagi yang lulus dan mendapat sekolah baru.

Siswa yang lulus dan menjadi siswa baru pada setiap sekolah tentunya menyandang predikat sebagai siswa sekolah lanjutan. Mereka yang lulus sekolah dasar (SD) melanjutkan ke tingkat pertama, sedangkan yang lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) melanjutkan ke tingkat atas (SLTA). Ketika itu, maka siswa baru menyandang sebuah predikat baru sebagai kaum terpelajar.

Sebagai kaum terpelajar, maka ada semacam tanggungjawab yang berdimensi dua hal. Pertama, berdimensi pada aspek tanggungjawab untuk menjadi pembelajar yang baik. Kedua, dimensi tanggungjawab sosial, yaitu bagaimana pelajar tidak hanya menjadi pembelajar, tetapi mengembangkan nalarnya pada tanggungjawab sosial sebagai bagian dari masyarakat.

Kedua hal diatas, hanya bisa dilakukan atau diperangkan oleh seorang pelajar dengan tiga karakter utama yaitu kritis, gaul dan syar’i. Ketiga hal ini cukup menjadi ciri yang melekat pada seorang pelajar, yaitu bagaimana mengembangkan sikap kritis, mampu bergaul secara proporsional dan senantiasa dalam bingkai ilahiah.

Sebab dalam konteks dimana ruang dan waktu yang bergerak begitu dinamis. Sangat dibutuhkan ketiga karakter diatas. Seorang pelajar pada masa kini menghadapi tantangan sosial, ekonomi dan politik yang tidak sederhana. Oleh karena itu, membangun kesadaran dan respons pelajar tentang masalah sosial, ekonomi dan politik juga cukup penting. Disamping belajar dengan baik.

Oleh sebab itu, maka memasuki tahun pelajaran ini, kita semua harus senantiasa optimis dapat melaksanakan tugas kemanusiaan kita dengan amanah. Oleh sebab itu, kepada pelajar ada beberapa catatan yang harus dikembangkan.

Kenapa harus kritis?

Pelajar sebagaimana dijelaskan diatas, memiliki peran yang tidak ringan. Pelajar dalam zaman yang orang sering sebut sebagai era global memiliki tantangan sosial yang rumit. Perkembangan tersebut berdampak pada banyak dimensi. Lunturnya kohesifitas – rasa saling membantu sebagai sesama manusia – dalam masyarakat adalah salah satu implikasi dari perubahan zaman tersebut.

Mungkin kita sering mendengar ucapakan teman-teman di sekolah yang mengatakan “hari gini gak punya HP”. Itu menjadi style – gaya – sebagai effek dari perubahan zaman tersebut. Zaman yang banyak disimbolkan oleh simbol materialisme. Yaitu suatu sikap yang mengagungkan materi. Perilaku hedonis, yaitu sikap suka berfoya-foya atau bersenang-senang.

Tetentu hal diatas tidak kondusif bagi pembentukan diri pelajar, maka seorang pelajar harus memiliki tools – alat, pisau analisis – yang dapat menuntunnya memilih pilihan yang representatif untuk mengembangkan diri. Oleh sebab itu, maka diperlukan kesadaran kritis seorang pelajar. Kesadaran ini bisa diartikan sederhana yaitu kematangan personal dalam menentukan pilihan.

Mereka kemudian memilih bukan karena orang lain, bukan karena otoritas, bukan karena hasil pengalamannya semata, bukan karena kebiasaan akan, bukan pula karena konsesi tetapi karena inquirytas mereka dalam berpikir. Mereka melakukan sesuatu karena sadar bahwa itu adalah penting dan berguna. Ali Syariati mengatakan bahwa jika tidak ada proses berpikir secara sadar maka aktivisme kemudian terjebak kedalam takhyul, fanatisme dan sebagainya.

Sebagai seorang pelajar, kritisisme harus senantiasa dibangun. Sebab salah satu ciri khas yang harus menjadi simbolnya adalah kritis. Membangun kesadaran kritis bukanlah pekerjaan mudah. Sebab itu, maka melatih diri dan mengaktifkan diri pada lembaga / organisasi menjadi sangat penting sebagai wadah belajar yang cukup reflektif dalam perjalanan kemanusiaan kita. Maka berlatilah untuk merespon sesuatu yang ganjil di lingkungan sekitar lalu pertanyakan kenapa terjadi demikian? Hal – hal kecil seperti ini cukup membantu kita pada tahapan kehidupan selanjutnya.

Gaul (Populisme)

Gaul dalam hal ini hampir sama maknanya dengan fungsi integratif. Suatu kemampuan untuk bersama dengan realitas, bersatu dengan komunitas pelajar. Hendaknya pemahaman kita tentang ini bukan hanya pemahaman tentang pola konsumerisme, pola pergaulan yang bebas, perilaku bebas dsb. Kemampuan ini bukan hanya kemampuan untuk memahami tapi lebih jauh kepada proses untuk mengubah. Proses mengubah inilah yang kemudian menjadi wilayah tanggungjawab sosial pelajar.

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Bahwa kita tidak lagi hidup di zaman batu yang serba tradisional. Tetapi kita berada pada zaman yang serba maju. Dilengkapi dengan berbagai macam kemudahan-kemudahan. Tetapi disisi yang lain juga melahirkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Seperti penyalah gunaan teknologi yang juga berdampak pada kemanusiaan. Itulah sebabnya para kritikus modernisasi sering mengatakan bahwa modernisasi telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan dan lingkungan yang demikian besar.

Sebab itu harus dibangun pemahaman yang profetik (kenabian). Suatu kemampuan yang bukan hanya bersama, memiliki, empati akan tetapi dilengkapi dengan kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menatanya kembali sehingga culture syock kemudian tidak menjadi gejala yang dapat menghambat secara signifikan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari keteladanan Nabi yang agung. Bagaimana nabi merencanakan dan mendesain dakwahnya sedemikian sehingga orang tidak meresa diganggu. Sebab kehadiran Islam adalah sebagai rahmatan lil alamin.

Bingkai ilahiah

Terma ketiga yang harus senantiasa dibangun adalah syar’i, artiya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Aktivitas kepelajaran kita harus tetap dibingkai dalam frame Islam. Atau aktivisme kita harus senantiasa dalam bingkai ilahiah. Lebih spesifiknya bahwa pelajar muslim harus senantiasa dalam terang wahyu.

Hal ini mengingat bahwa sebagai pelajar Muslim yang menjadikan Islam sebagai ruh pergerakan, ruh aktivisme dan islam sebagai pijakan. Akan tetapi bukan berarti lalu terjebak ke dalam paradigma – cara pandang – ekslusifisme – hanya untuk geolongan atau komunitasnya sendiri –, yang kemudian memandang bahwa kebenaran mutlak harus menjadi milik kita dan orang lain adalah salah.

Akhirnya ketiga terma diatas harus senantiasa dikembangkan dalam kerangka proses pembinaan yang berjalan secara terus menerus dan terintegrasi satu dengan lainnya. Sehingga pada akhirnya menciptakan satu makna dan brand pelajar Muhammadiyah yang kritis, integratif dan syar’i. Wallahu a’lam bisshawab

Oleh : Masmulyadi *

nilai kemanusian yang adil demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan

nilai yang adil,demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dalam kontek bela negara.

A. Demokrasi, HAM, dan Negara

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.

2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.

4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu.

5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat.

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.

9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain.

11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.

12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat.

14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun.

15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia.

16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya.

17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum.

18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.

22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya.

23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah.

24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk xe "Komisi Nasional Hak Asasi Manusia"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang.

26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.

27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.

d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.

g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.

l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.

m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.

b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.

h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.

i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

k. Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.

l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.

m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.

g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.

c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia memahami bahwa xe "The Universal Declaration of Human Rights"The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa xe "The Universal Declaration of Human Responsibility"The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.

athika





untuk mengantarkan insan dengan segala potensi diri dalam berinteraksi

untuk mengantarkan insan dengan segala potensi diri dalam berinteraksi

Banyak yang bahagia dengan tahun ajaran baru. Orang tua tentunya. Dia bahagia karena anaknya dapat lulus dan melanjutkan sekolahnya di sekolah lanjutan. Bagi seorang siswa baru, kebahagiaan itu antara lain punya teman baru, guru baru dan sekolah baru. Bahagia karena lulus ujian yang merupakan ”penghalang” sebagian siswa untuk menapaki sisi hidupnya lebih jauh. Sekolah pun ikut bahagia bisa menerima murid baru dengan aneka macam watak dan karakter. Pokoke tahun baru menjadi ruang bahagia bagi yang lulus dan mendapat sekolah baru.

Siswa yang lulus dan menjadi siswa baru pada setiap sekolah tentunya menyandang predikat sebagai siswa sekolah lanjutan. Mereka yang lulus sekolah dasar (SD) melanjutkan ke tingkat pertama, sedangkan yang lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) melanjutkan ke tingkat atas (SLTA). Ketika itu, maka siswa baru menyandang sebuah predikat baru sebagai kaum terpelajar.

Sebagai kaum terpelajar, maka ada semacam tanggungjawab yang berdimensi dua hal. Pertama, berdimensi pada aspek tanggungjawab untuk menjadi pembelajar yang baik. Kedua, dimensi tanggungjawab sosial, yaitu bagaimana pelajar tidak hanya menjadi pembelajar, tetapi mengembangkan nalarnya pada tanggungjawab sosial sebagai bagian dari masyarakat.

Kedua hal diatas, hanya bisa dilakukan atau diperangkan oleh seorang pelajar dengan tiga karakter utama yaitu kritis, gaul dan syar’i. Ketiga hal ini cukup menjadi ciri yang melekat pada seorang pelajar, yaitu bagaimana mengembangkan sikap kritis, mampu bergaul secara proporsional dan senantiasa dalam bingkai ilahiah.

Sebab dalam konteks dimana ruang dan waktu yang bergerak begitu dinamis. Sangat dibutuhkan ketiga karakter diatas. Seorang pelajar pada masa kini menghadapi tantangan sosial, ekonomi dan politik yang tidak sederhana. Oleh karena itu, membangun kesadaran dan respons pelajar tentang masalah sosial, ekonomi dan politik juga cukup penting. Disamping belajar dengan baik.

Oleh sebab itu, maka memasuki tahun pelajaran ini, kita semua harus senantiasa optimis dapat melaksanakan tugas kemanusiaan kita dengan amanah. Oleh sebab itu, kepada pelajar ada beberapa catatan yang harus dikembangkan.

Kenapa harus kritis?

Pelajar sebagaimana dijelaskan diatas, memiliki peran yang tidak ringan. Pelajar dalam zaman yang orang sering sebut sebagai era global memiliki tantangan sosial yang rumit. Perkembangan tersebut berdampak pada banyak dimensi. Lunturnya kohesifitas – rasa saling membantu sebagai sesama manusia – dalam masyarakat adalah salah satu implikasi dari perubahan zaman tersebut.

Mungkin kita sering mendengar ucapakan teman-teman di sekolah yang mengatakan “hari gini gak punya HP”. Itu menjadi style – gaya – sebagai effek dari perubahan zaman tersebut. Zaman yang banyak disimbolkan oleh simbol materialisme. Yaitu suatu sikap yang mengagungkan materi. Perilaku hedonis, yaitu sikap suka berfoya-foya atau bersenang-senang.

Tetentu hal diatas tidak kondusif bagi pembentukan diri pelajar, maka seorang pelajar harus memiliki tools – alat, pisau analisis – yang dapat menuntunnya memilih pilihan yang representatif untuk mengembangkan diri. Oleh sebab itu, maka diperlukan kesadaran kritis seorang pelajar. Kesadaran ini bisa diartikan sederhana yaitu kematangan personal dalam menentukan pilihan.

Mereka kemudian memilih bukan karena orang lain, bukan karena otoritas, bukan karena hasil pengalamannya semata, bukan karena kebiasaan akan, bukan pula karena konsesi tetapi karena inquirytas mereka dalam berpikir. Mereka melakukan sesuatu karena sadar bahwa itu adalah penting dan berguna. Ali Syariati mengatakan bahwa jika tidak ada proses berpikir secara sadar maka aktivisme kemudian terjebak kedalam takhyul, fanatisme dan sebagainya.

Sebagai seorang pelajar, kritisisme harus senantiasa dibangun. Sebab salah satu ciri khas yang harus menjadi simbolnya adalah kritis. Membangun kesadaran kritis bukanlah pekerjaan mudah. Sebab itu, maka melatih diri dan mengaktifkan diri pada lembaga / organisasi menjadi sangat penting sebagai wadah belajar yang cukup reflektif dalam perjalanan kemanusiaan kita. Maka berlatilah untuk merespon sesuatu yang ganjil di lingkungan sekitar lalu pertanyakan kenapa terjadi demikian? Hal – hal kecil seperti ini cukup membantu kita pada tahapan kehidupan selanjutnya.

Gaul (Populisme)

Gaul dalam hal ini hampir sama maknanya dengan fungsi integratif. Suatu kemampuan untuk bersama dengan realitas, bersatu dengan komunitas pelajar. Hendaknya pemahaman kita tentang ini bukan hanya pemahaman tentang pola konsumerisme, pola pergaulan yang bebas, perilaku bebas dsb. Kemampuan ini bukan hanya kemampuan untuk memahami tapi lebih jauh kepada proses untuk mengubah. Proses mengubah inilah yang kemudian menjadi wilayah tanggungjawab sosial pelajar.

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas. Bahwa kita tidak lagi hidup di zaman batu yang serba tradisional. Tetapi kita berada pada zaman yang serba maju. Dilengkapi dengan berbagai macam kemudahan-kemudahan. Tetapi disisi yang lain juga melahirkan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Seperti penyalah gunaan teknologi yang juga berdampak pada kemanusiaan. Itulah sebabnya para kritikus modernisasi sering mengatakan bahwa modernisasi telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan dan lingkungan yang demikian besar.

Sebab itu harus dibangun pemahaman yang profetik (kenabian). Suatu kemampuan yang bukan hanya bersama, memiliki, empati akan tetapi dilengkapi dengan kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menatanya kembali sehingga culture syock kemudian tidak menjadi gejala yang dapat menghambat secara signifikan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari keteladanan Nabi yang agung. Bagaimana nabi merencanakan dan mendesain dakwahnya sedemikian sehingga orang tidak meresa diganggu. Sebab kehadiran Islam adalah sebagai rahmatan lil alamin.

Bingkai ilahiah

Terma ketiga yang harus senantiasa dibangun adalah syar’i, artiya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Aktivitas kepelajaran kita harus tetap dibingkai dalam frame Islam. Atau aktivisme kita harus senantiasa dalam bingkai ilahiah. Lebih spesifiknya bahwa pelajar muslim harus senantiasa dalam terang wahyu.

Hal ini mengingat bahwa sebagai pelajar Muslim yang menjadikan Islam sebagai ruh pergerakan, ruh aktivisme dan islam sebagai pijakan. Akan tetapi bukan berarti lalu terjebak ke dalam paradigma – cara pandang – ekslusifisme – hanya untuk geolongan atau komunitasnya sendiri –, yang kemudian memandang bahwa kebenaran mutlak harus menjadi milik kita dan orang lain adalah salah.

Akhirnya ketiga terma diatas harus senantiasa dikembangkan dalam kerangka proses pembinaan yang berjalan secara terus menerus dan terintegrasi satu dengan lainnya. Sehingga pada akhirnya menciptakan satu makna dan brand pelajar Muhammadiyah yang kritis, integratif dan syar’i. Wallahu a’lam bisshawab

Oleh : Masmulyadi *

nilai kemanusian yang adil demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan

nilai kemanusian yang adil demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan

nilai yang adil,demokrasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dalam kontek bela negara.

A. Demokrasi, HAM, dan Negara

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.

2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.

4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu.

5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat.

8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.

9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain.

11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.

12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat.

14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun.

15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia.

16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya.

17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum.

18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.

22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya.

23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah.

24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk xe "Komisi Nasional Hak Asasi Manusia"Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang.

26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.

27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.

b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.

c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.

d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.

f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.

g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.

h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.

k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.

l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.

m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.

b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.

c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.

d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.

e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.

f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.

g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.

h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.

i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.

j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.

k. Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.

l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.

m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

a. Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.

b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.

c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.

d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.

e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.

f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.

g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia

a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.

c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.

d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia memahami bahwa xe "The Universal Declaration of Human Rights"The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa xe "The Universal Declaration of Human Responsibility"The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.